TIPUAN AWAN MENDUNG
Jangan pernah menjanjikan
seseorang sebuah kehidupan yang lebih baik ketika diri sendiri mencoba
bersembunyi di balik kesakitan yang tanpa disadari sudah pelan-pelan tersimpan
ke diri seseorang yang juga sedang mencari perlindungan. Membangun kembali tembok
yang sudah hancur membutuhkan waktu panjang. Ketika temboknya sudah berhasil Ia
tuntaskan kokoh, tolong jangan pinta Ia membangun pintu. Jika alasan untuk
bertamu berteduh, tolong jangan menetap
dengan banyak kata yang harus ditepati pada ujungnya. Mengajakku berandai pada satu waktu,
mengisi ruang-ruang luang dengan genggaman, dengan aroma masakan favorit,
hingga riuhnya para tawa anak keturunan yang kan mengisi ruang-ruang kita dalam satu meja. Bukankah
itu indah jika dalam satu nyata.
Sayangnya, sebuah “akan” tidak
membentuk menjadi yang “sudah terjadi”. Jika harus memaknai sadar pada takdir,
sudah lama jatuh cinta dengan takdirku sendiri. Besarnya renjana pada
sajak-sajakmu, bagai sebuah buku yang sudah berkali-kali kubaca. Tak jenuh
untuk kubaca berulang kali selama berbelas tahun melawan rentang jarak yang merawat
kasih pada diri ini, dengan penantianmu penuh rela. Balas budi seperti apa yang
harus kubayar. Melewatkanku, katanya sebuah penyesalan terbesar yang harus
menjadi sebuah penuntasan.
Rasanya, hujan tidak kunjung
berhenti berminggu-minggu. Tidak juga pernah kudengar selembar dongeng Sang
mendung meminta izin pada tanah untuk dibasahi. Karena gelapnya awan terkadang
menipu. Kalaupun tiba hujan tanpa izin, hanya laut yang menerimanya dengan
bahagia. Bertambah kembali pasangnya membasahi daratan. Aku pernah jadi laut
yang luas menerima semua yang ditumpahkan, bahkan menggiring perahu retak
menipis yang hampir tenggelam, sempat
terombang-ambing oleh nakhoda yang resah dengan ombak-ombak kecil untuk segera sampai pada pelabuhan terdekat yang kukira
meminta pertolongan, ternyata hanya singgah untuk kembali melanjutkan
perjalanan.
Elisk, Maret 2024
Comments
Post a Comment