PELABUHAN

 

    Butuh waktu cukup lama untuk bisa berkunjung menyusuri jembatan beton dengan barisan kapal pada tepinya. Aroma amis yang terbentuk dari uap teriknya matahari siang tadi, tidak membuat suasana sore menyepi dari ramainya para penikmat matahari tenggelam.


    Para awak kapal yang terlihat berjemur pada masing-masing dek kapal juga ikut menikmati matahari tenggelam yang mungkin setiap hari pun menjadi hiburan perjalanannya. Atau mungkin entah berapa jenis warna langit senja yang sudah diabadikan dalam galeri ponselnya.


    Bukan matahari tenggelam yang ingin kusaksikan sore ini. Banyak perahu yang ingin kupandangi. Banyak perahu yang bersandar yang ingin aku ratapi. Banyak perahu yang berlalu-lalang pun yang ingin kupandangi hingga menitik menuju ujung lautan.


    Pada kapal besar yang ingin bepergian dari lepasnya jangkar, aku menikmati pemandangan bagaimana para awak kapal bergegas menggulung bahkan mengawasi lilitan tali jangkar. Begitu awas dan presisi. Memastikan semua baik dan aman untuk berangkat. Aku menikmati para penumpang yang masih berdiri pada dek dek kapal untuk terus melambaikan selamat tinggal pada yang masih di daratan. Seakan lambaian itu bukanlah sebuah kebahagiaan, melainkan buncahan kesedihan yang entah kapan akan bertemu lagi.


    Pada perahu kecil yang hanya bisa diduduki dua manusia, yang hanya bisa menjauh dari si besar, membiarkannya berlayar sedikit jauh untuk kemudian si kecil ini baru bisa kembali menyalakan mesin untuk bergegas mengejar matahari tenggelam dan kembali esok berlomba dengan matahari terbit. Aku menikmati bagaimana perahu kecil ini menunggu sedikit lama agar si kapal besar yang menciptakan gelombang ini menjauh terlebih dahulu, untuk kemudian perahu kecil bisa tenang berlayar tanpa gangguan dari gelombang si besar. Betapa sabar dan mengalahnya.


    Aku menikmati riak riak kecil di pelabuhan sore ini. Aku menikmati betapa para kapal dan perahu kecil bisa saling mengalah untuk bergegas berlayar. Membiarkan gelombang kapal besar surut, kemudian melenggang mengikuti gelombang alam yang pelan tapi menciptakan rasa aman.


    Aku menikmati pemandangan para manusia yang masih bertahan menunggui para kapal dan perahu kecil ini menitik di ujung garis lautan. Entah sekedar merekamnya pada kamera ponsel, atau hanya melihat dengan kedua matanya. Lautan yang luas sore ini seperti pelepas penat. Pantulan sinar matahari tenggelam yang sedikit menyilaukan mata, masih menjadi pemandangan terbaik sebelum mengakhiri sore dengan merahnya senja.


    Pelabuhan sore ini sedikit menyisakan kerinduan pada kenangan lalu bagi sebagian manusia. Mereka yang pamit berlayar, entah kapan kembali berkunjung lagi. Ada yang sekedar singgah berlabuh untuk beristirahat. Singgah untuk memeriksa kondisi kapal atau perahu untuk kemudian kembali berlayar. Singgah untuk menjemput pulang para penumpang yang juga hanya sementara berkunjung di kota ini.


    Satu yang aku pahami, mereka yang memutuskan singgah kemudian kembali berlayar, tidak akan pernah tahu kapan tepatnya akan kembali menyinggahi pelabuhan ini. Tapi mereka yang mengantar, harus siap menahan rindu memendam kenangan saat bersama dalam persinggahan. Entah pertanyaan ke berapa kalinya untuk menanyakan kapan sang pelayar akan kembali berlabuh di pelabuhan ini. Tidak ada jawaban pasti. Hanya ada Semoga dalam titipan pesannya.


    Langit mulai memerah senja. Para kapal dan perahu kecil di ujung sana sudah menuju tepi garis lautan dan mengecil menitik. Haluannya sudah tidak lagi terlihat. Seperti mulai menggelap memaksa hadirnya malam. Layaknya manusia yang baru saja bersemoga memandang pagi, kemudian rapuh pada malam yang sarat hampa dan pasrah. Tidak jauh dari sebuah penantian yang entah kapan akan ikut berlayar dan berlabuh pada pelabuhan yang sama.



https://penakota.id/penulis/elisk/14535/PELABUHAN

Comments

Popular Posts