JENDELA

 

Oleh : Elis K

    Sudah masuk bulan Desember, hujan juga sudah sering mengeroyok jemuran di samping rumah tanpa aba-aba. Jika sekedip mata terlihat siang sangat cerah, jangan dipercaya seharian. Tunggu saja saat sore, hujan pasti akan datang. Begitu juga dengan pagi yang sudah memesona dengan sinarnya, beberapa jam saja bisa turun hujan kemudian. Pasti banyak keluhan bulan ini. Mulai dari terhalang untuk bisa berlibur ke luar kota dan terbatasnya ruang untuk perayaan tahun baru. Entah akankah jumlah kembang api di puncak tahun baru nanti akan sama banyaknya seperti tahun-tahun sebelumnya.


    Seperti biasa, sebangunnya Ibu dari tidur yang selalu sebentar di gelap malam, masih berkurung mukenah dengan bawahan yang selalu ditinggikan sedadanya, mengambil sebuah lap untuk menyeka bagian dalam dan luar jendela yang berhadapan langsung dengan garasi terbuka. Setiap pagi, sedikit saja terlihat debu menempel di kaca jendela, gatal tangannya untuk segera mengelap. Apalagi Desember ini, musim hujan, dan seringnya kaca jendela berembun, membuat Ibu juga berkali-kali mengelapnya. Ibu selalu menutup pagar rumah rapat-rapat, agar jika ada orang yang masuk ke halaman rumah bisa terdengar suara pagar yang digeser. Ibu suka melihat dari dalam rumah pemandangan garasi yang hanya berisi dua motor matic berjajar rapi dengan latar pagar teralis putih di belakangnya. Setelah Ibu mengelap kaca jendela, Ibu duduk di sofa kecilnya yang berada di ruang tengah yang hanya bisa diduduki satu orang, pun selalu diposisikannya menghadap garasi terbuka kami. Selepas mengelap kaca jendela, Ibu selalu bersantai di sofa favoritnya dengan memandangi garasi yang berisi dua motor peninggalan mendiang Ayah.


    Garasi dan halaman depan rumah adalah pemandangan terbaik bagi Ibu. Hanya bisa dilihatnya melalui jendela dalam, Ibu sudah bisa merasakan kehadiran Ayah. Imajinasi Ibu tidak pernah berubah. Jika pagi, Ibu selalu seperti melihat Ayah yang sibuk mengelap motornya untuk bersiap berangkat kerja. Jika sore, Ibu seperti melihat Ayah yang menggeser pagar untuk masuk sepulangnya kerja, melepas jaket dan helm untuk kemudian ditenggerkan di jog motornya, kemudian duduk di kursi teras untuk melepaskan kaos kaki dan sepatunya. Dan masuk rumah menyusuri ruang tamu, ruang keluarga, berakhir di meja makan sekedar membuka tudung saji mengecek masakan Ibu, tidak lupa sentuhan cubitan jarinya untuk mencicipi lauk di hadapannya, kemudian mandi dan siap ke masjid untuk jamaah maghrib. Ibu selalu bercerita detil aktifitas Ayah kepadaku. Sampai-sampai aku hapal kalimat-kalimat Ibu tiap mulai bercerita. Bosan, tidak. Apa juga yang bisa kuingat dari memori anak tiga tahun yang ditinggalkan Ayah menuju alam abadi. Sedikit, bahkan aku lupa. Aku senang mendengarkan Ibu yang selalu bercerita tentang Ayah. Sejauh ini, cerita Ibu selalu bagus. belum kutemukan buruknya.


https://penakota.id/penulis/elisk/10755/JENDELA

Comments

Popular Posts