KAMAR PUTIH



KAMAR PUTIH

    Membukanya saja tidak sanggup berlama-lama, apalagi untuk sekedar tinggal beristirahat di dalamnya pun enggan. Letak lemari masih berpasangan di dalam kamar putih itu. Satu lemari kayu cokelat di sudut, tepat berhadapan dengan sebingkai jendela, sudah dua tahun tidak pernah dibuka. Sekali terakhir dibuka, saat ingin mencari berkas penting untuk keperluan rumah. Setelah itu tidak pernah lagi dibukanya. Sebagian isi lemari kayu itu sudah dibagikan kepada sanak saudara bahkan sahabat, agar tidak menjadi hisab berat bagi pemilik, sebagiannya lagi masih disimpan rapi rapat-rapat. 

    Bukan masalah mahal atau murah, semua relatif. Nilainya saja yang bersejarah, maka harus disimpan baik di dalam lemari kayu kamar putih itu. Selama masih terlihat pantulan sinar matahari dari jendela itu, tidak mungkin akan berjamur di dalamnya. Jika pintu kamar putih selalu tertutup, maka tirai yang bergantung lama pada jendela itu tidak pernah tertutup. Selalu terbuka. Walaupun sudah mulai digerogoti oleh sarang lembut laba-laba, tidak juga berkenan diganti hanya untuk terlihat indah. Untuk apa, tidak siapapun yang akan  berniat melihat istana laba-laba di antaranya. Tirai jendela berwarna cokelat itu sudah terlihat pudar dimakan sinar  matahari pada bagian atasnya. Bukan tidak peduli, tapi sudahlah biarkan alam yang bekerja saat ini. Campur tangan pun sudah lelah mengurusinya. 

    Catnya yang putih gading masih terlihat baik, bersih, walau sedikit ada coretan krayon yang sudah mulai ikut memudar, yang dulunya juga sempat meriuhkan gelak tawa dan kegemasan akan mural mini itu. Sudahlah tirai yang mulai memudar, mural mini dari krayon berwarna warni itu juga sudah mulai memudar menyatu dengan warna putih gading sekitarnya. Tidak masalah. Air di lautan tidak selalu pasang saat tiba masanya surut. Pun menulis di pasir tepi pantai juga lebih cepat terkikis oleh anggunnya riak gulungan ombak yang mencuri masuk sesaat lalu mundur pergi. Semuanya tidak akan ada yang bertahan. Batu pun bisa terkikis oleh tetesan air. Kembali lagi pada kerja alam. Manusia bisa apa. Tidak satupun. 

    Butuh bergenggam beberapa detik pada pintunya jika ingin membuka kamar putih. Kadang mengenggam beberapa detik, mundur kembali tidak ingin membukanya. Khawatir, jantung akan sesak. Dugaan aroma lalu yang akan tercium akan merusak suasana yang sedang dijalin untuk kokoh. Letak bantal dan selimut terakhir pun tidak berpindah. Masih tersusun rapi pada tempatnya. Tidak ada satupun yang tega memindahkan letaknya. 

    Sesekali  lantainya dibersihkan hingga mengkilap. Tidak sering, tapi seingat dan sesanggupnya. Sudah tidak mendiaminya untuk beristirahat, maka paling tidak kewajiban untuk menjaga dan merapikannya selalu ada. Sebentar, merapikannya. Maaf, merapikan sesuatu yang sudah rapi, apakah termasuk gila? paling tidak seperti pepatah, membuang garam ke lautan. Sia-sia. 

    Tidak satupun penyesalan hadir, tetapi ada kalut yang membungkus kerinduan jika masuk ke dalam kamar putih itu. Maka lebih baik tidak berlama-lama di dalamnya. Lebih baik lekas menutupnya kembali atau membukanya sedikit saja dan biarkan tirai jendela di dalamnya selalu terbuka. Seperti rasa yang sengaja ditutup rapat, tapi siapapun bisa melihatnya dari luar sebab tirai jendelanya selalu terbuka. Berdirilah saja di pintu lain yang berdekatan dengan pintu si kamar putih, mungkin akan ada sambut dan harap yang sedang dicari untuk membangun kamar baru.


-ek-
    

Comments

Popular Posts