DARIMU, LANGKAHKU
Darimu, Langkahku
Sepasang sepatu kanvas putih bertali merah muda, kutakjubkan saat membuka kotak berwarna sama dengan si tali.
Aku sampai lupa kapan aku pernah menceritakan ukuran kaki dan warna kesukaanku padamu.
Kawan langkah baruku itu baru saja kuterima dari satu sahabat yang juga sahabatmu
Ratap menggoda dari sahabat saat memberikan sekotak kawan langkahku yang baru itu, membuatku tersanjung akan kasih berkedok sepatu yang kau titipkan padanya
Ibukota kau kunjungi saat itu,
Sebelum kembali, kau sempat bertandang dari satu toko ke toko lainnya demi mencari ukuran mini kakiku kau sebut.
Tidak lama dari pemberianmu, diam diam kau sudah berada di satu kota di mana aku berada. Diam-diam kau menyambangi tujuan dari segala usaha dan harapanmu, Aku.
Membahagiakanku, adalah prioritas. Katamu waktu itu. Dan aku memang merasa seperti ratu. Tanpa tutur pun, kau sanggup membaca inginku.
Kejutan demi kejutan selalu menghiasiku. Kita sama sama penasaran dengan permulaan peduli yang aku yakin besok akan menjadi cinta.
Benar saja, katamu, untuk apa semua waktu kupenuhi hanya membuatmu bahagia. Kau ingin balasan cinta dariku. Terlalu cepat kataku.
Aku baru saja terluka.
Berhati-hatilah dengan situasi wanita sepertiku. Aku belum merasakan cinta. Aku masih pada fase kekaguman pada manisnya sikapmu.
Tidak membuatku terganggu, membuatku selalu berharap-harap entah kejutan apalagi yang akan kau ucapkan sebagai kelucuan penghiburan, atau sebuah kotak apalagi yang akan bertambah darimu,
sekedar memenuhi rak rak hiasan kamarku, tepat berada pada hadap pandangku saat memasuki kamar, juga sebelum tidur.
Lama kurasakan suasana sunggingan senyum yg hadir pada diriku. Perlahan kukosongkan hatiku. Kuterima segala buruk hati kemarin dari pria yang manis di awal saja.
Kucoba fokus dengan kemanisanmu. Aku belum merasakan cinta. Sedang kau butuh itu dariku, pasti. Dari sorot mata yang aku rekam kali pertama bertemu, aku yakin kecewa tidak akan kudapatkan. Ketulusanmu mampu meringankan segala langkahku. Mencipta sepucuk tenang yang kapanpun sanggup kugenggam.
Kali pertama bertemu, dua hari, mampu menafsirkan segala yang kau miliki untuk menjadi angan anganku memilikimu. Kekagumanku pada segala tulusmu, semakin candu dalam hatiku.
Tanpa kuminta, semua hadir darimu.
Cinta rasanya perlahan tumbuh. Aku lebih sering memberanikan diri untuk menyapamu. Senyum yang sama dalam waktu yang bersama pun tergambar dalam akal.
Jarak yang jauh, membuatku mempan akan segala gersangnya pertemuan. Kau milikku, akhirnya. Katamu, aku sudah menjadi milikmu sejak pertama kali melihatku takjub membuka kotak sepatu pemberianmu. Kisah yang kau dapat dari sahabat.
Ketika sudah jatuh cinta, katamu, maka sudahlah seorang itu jadi milikmu. Jarak yang jauh mampu melumpuhkan luangnya waktu yang tak terhitung.
Sikapmu masih manis, ketulusanmu menjadi kunci kuatnya jarak kasih ini. Berubahlah aku menjadi seorang yang pasif karena kenyamanan sikapmu. Tidak pantang menyerah adalah satu sikap kebatuanmu yang tidak pernah berubah.
Kembali kubuka sepatu pemberianmu. Saat kurindu, kupakai ke manapun. Ketika ku merajuk karena alfa nya kehadiranmu nyata, kumasukkan kembali dalam kotak. Merangut wajahku. Besoknya kurindu kau lagi, kukeluarkan lagi kupakai ke manapun, begitu terus bergantian.
Kebesaran hati saja yang sanggup berjarak dengan kasihnya. Sayangnya, perlahan hatiku mengerucut. Hampir menutup kasihmu. Penolakan perlahan kulakukan. Aku tidak sanggup berjarak.
Seperti sepatu yang kau beri, aku tak sanggup memakainya berlama-lama berjalan kaki jauh. Aku sudah tidak sanggup.
Aku butuh ragamu kapan waktu, tapi hanya ada diksi demi diksi yang menjadi penghiburanku. Fana kataku.
Perlahan licikku datang dengan menutup semua pintu diksi mu. Dengan alasan jarak kataku, kututup pintu hatiku. Paksakan pada diriku. Aku tidak sanggup berjarak.
Aku tidak sanggup berterima kasih berdiksi denganmu. Ketulusanmu tetap ada pada setiap langkahku. Sepasang sepatu putih bertalu merah muda itu, menjadi kawan setia langkahku ke manapun. Perlahan aku terbiasa memakainya berjalan kaki jauh dalam waktu lama. Kupaksakan. Demi rinduku yang tak ingin kau tahu.
Aku hanya sanggup berdekatan. Berjauhan, aku ternyata tidak sanggup. Seperti sepasang sepatu yang ke manapun harus bersama, satu pergi, maka satu lain harus dicari dulu untuk bisa bersama melangkah. Membunyikan ketukan demi ketukan langkah secara bergantian. Saling melengkapi. Tali sisi kanan satu terlepas, maka ada sisi kiri yang siap mengingatkannya, menginjaknya dengan sengaja untuk aku berhenti sejenak, mengikatnya kembali.
Darimu, langkahku kini berhias. Tak lagi sepi. Tidak ada yang berubah. Aku hanya tak sanggup berjarak. Lelah. Dan aku tak mau lama berlelah menunggu kehadiranmu mendampingiku. Sudahlah diksimu kujadikan khayalan dalam malam. Biarlah kau di sana berpaku pada malam malam yang sama dengan sudut berbeda dariku.
Terima kasih, kau memberikan sebuah langkah. Termanis dan terbaik yang pernah kuperjuangkan dalam hati, dalam jauhmu. Sayangnya sekali lagi aku tak sanggup berjarak.
Untukmu,
2012
Comments
Post a Comment