SURAT UNTUK RENJANA 5
Raga yang ragu,
Raga yang mungkin tidak lagi ragu.
Sudah masuk hari ke-22 sepeninggal ayahmu Nak.
Ibu kira akan terbiasa dan sanggup menahan kelu dan kakunya tenggorokan untuk tak menangis.
Nyatanya, Ibu belum sekuat yg Ibu harapkan.
1 Oktober, 22.30 Malam itu, Ibu melihat depan mata Ibu, ayahmu menyerah melawan kesakitannya. Atau mungkin bukanlah menyerah, tapi mencoba untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Tidak cuma Ibu, ada Bibimu, Om Cholil, tante Jihan, Eyang, dan sahabat Ayah, Om sugi dan Om Deny.
Ibu tiba pukul 10 malam di Samarinda menyusul ayahmu yg koma sejak selasa sore itu.
Histeris ibu tak terbendung ketika melihat keadaan ayah sudah koma,
Ibu buka selinut di kakinya, kedua tumit ayah sudah putih pucat.
Saat itulah ibu menjerit menangis histeris memeluk ayah. Membangunkan ayah dengan penuh harapan, mengguncang2 badan ayah, nyatanya ayah tetap tertidur dengan bantuan oksigen.
Masih saja histeris. Hingga tiba tepat di penghujung selasa malam, 22.30 saat itu, Ayahmu mengembuskan napas terakhirnya di genggaman tangan kanan kami berdua, di dalam peraduan dua kening kami. Menjerit Ibu dan semua yg ada di dalam ruangan runah sakit saat itu.
Tidak, Ibu tidak tegar. Ibu putus asa menatap matinya raga ayahmu yang sudah tertutup selimut penuh hingga pucuk rambutnya. Memori manis mendadak menghujani kepala Ibu. Sekelebat wajah mungil Kisah pun lewat di kepala Ibu. Semakin sesak lah dada Ibu saat itu.
Terlalu cepat Allah mengambil Ayah darimu Nak, Ibu semakin perih hati.
Ibu tidak kecewa dengan takdir Allah, Ibu hanya kecewa dengan diri Ibu yang belum sempat meminta maaf atas segala kesalahan yg pernah Ibu lakukan. Belum sepenuhnya Ibu nerawat Ayah.
bahkan menulis ini pun ibu sudah tidak sanggup.
ibu sembari memeluk baju kerja Ayah yang sudah tiga bulan belum Ibu cuci. Sengaja Ibu biarkan tergantung di kamar ujung tiada satupun yg boleh menggeser letaknya.
.....
Raga yang mungkin tidak lagi ragu.
Sudah masuk hari ke-22 sepeninggal ayahmu Nak.
Ibu kira akan terbiasa dan sanggup menahan kelu dan kakunya tenggorokan untuk tak menangis.
Nyatanya, Ibu belum sekuat yg Ibu harapkan.
1 Oktober, 22.30 Malam itu, Ibu melihat depan mata Ibu, ayahmu menyerah melawan kesakitannya. Atau mungkin bukanlah menyerah, tapi mencoba untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Tidak cuma Ibu, ada Bibimu, Om Cholil, tante Jihan, Eyang, dan sahabat Ayah, Om sugi dan Om Deny.
Ibu tiba pukul 10 malam di Samarinda menyusul ayahmu yg koma sejak selasa sore itu.
Histeris ibu tak terbendung ketika melihat keadaan ayah sudah koma,
Ibu buka selinut di kakinya, kedua tumit ayah sudah putih pucat.
Saat itulah ibu menjerit menangis histeris memeluk ayah. Membangunkan ayah dengan penuh harapan, mengguncang2 badan ayah, nyatanya ayah tetap tertidur dengan bantuan oksigen.
Masih saja histeris. Hingga tiba tepat di penghujung selasa malam, 22.30 saat itu, Ayahmu mengembuskan napas terakhirnya di genggaman tangan kanan kami berdua, di dalam peraduan dua kening kami. Menjerit Ibu dan semua yg ada di dalam ruangan runah sakit saat itu.
Tidak, Ibu tidak tegar. Ibu putus asa menatap matinya raga ayahmu yang sudah tertutup selimut penuh hingga pucuk rambutnya. Memori manis mendadak menghujani kepala Ibu. Sekelebat wajah mungil Kisah pun lewat di kepala Ibu. Semakin sesak lah dada Ibu saat itu.
Terlalu cepat Allah mengambil Ayah darimu Nak, Ibu semakin perih hati.
Ibu tidak kecewa dengan takdir Allah, Ibu hanya kecewa dengan diri Ibu yang belum sempat meminta maaf atas segala kesalahan yg pernah Ibu lakukan. Belum sepenuhnya Ibu nerawat Ayah.
bahkan menulis ini pun ibu sudah tidak sanggup.
ibu sembari memeluk baju kerja Ayah yang sudah tiga bulan belum Ibu cuci. Sengaja Ibu biarkan tergantung di kamar ujung tiada satupun yg boleh menggeser letaknya.
.....
Comments
Post a Comment